Sunday, August 17, 2014

Tentang Ayah

Kemarin merayakan 17 Agustus di rumah Bandung, walaupun hanya 2 hari, tapi rasanya cukup untuk mengembalikan semangat juang sebelum kembali ke Jakarta yang penuh polusi.

Kembali ke rumah dimana saya tumbuh tentunya mengembalikan beberapa kenangan.
Kembali bertemu kedua orang tua yang sudah membesarkan saya, dan tak terasa, keriput dan uban mereka sudah semakin bertambah.
Ada sedikit rasa sesal ketika sadar, mereka tidak akan selamanya muda, mereka tidak akan selamanya sesehat saat saya kecil.
Dan tulisan ini saya persembahkan untuk ayah saya, my true hero since i was a child.

Ayah saya, namanya Ir. Idit Rosidi Iskandar. Ada gelar seorang insinyur di depan nama aslinya, sesuatu yang sejak kecil saya banggakan, karena menurut saya punya ayah bergelar insinyur itu keren,lebih keren daripada gelar dokter, terdengar laki banget deh. 

Saya lahir ke dunia ketika ayah sudah berumur 30, sudah mapan dan punya karier, punya rumah dan mobil, dll. Ibu saya ga perlu merasakan hidup di kontrakan dan tinggal duduk manis di mobil disetirin ayah kalau mau kemana-mana. Sebagai anak pertama mereka, masa-masa kecil saya sungguh seperti princess, baju-baju cantik, puluhan sepatu, dan topi-topi ala princess jadi koleksi. Belum lagi tumpukan boneka yang memenuhi kamar saya, saya punya segalanya kala itu.

Cucu pertama, anak pertama, setiap weekend ayah akan mengajak ibu jalan-jalan, mau beli baju atau sekedar ke tempat makan, atau ke TMII, taman safari, kebun raya bogor, puncak, lembang, ciwidey,dll. Ayah juga sering mengajak saya ikut acara memancing kantornya, bahkan kalau ibu ga ikut, ayah tetap bawa saya. Sekedar jalan/lari/naik sepeda, but i still remember that moment until now.

Waktu itu saya juga sering diajak main ke kantornya hari Sabtu/Minggu, dimana dulu kantornya (IPTN) di mata saya yang masih kecil supeeeeerrr besaaar bgt luasnya, dan saya juga diajak liat pesawat buatan IPTN waktu itu (yang kemudian di taun 2013 saya liat di film Habibie dan Ainun). 

Setiap sore saya juga menanti ayah pulang di rumah, dan setiap jam 6 sore ketika ayah pulang, saya pasti dikasi satu kotak roti keju/coklat/daging yang merupakan jatah sarapan gratisnya tiap pagi dari kantor. Rotinya enak banget loh, biasanya saya minta Ayah untuk memanggang si rotinya, jadi roti bakar gitu, tambah maknyus.

Ayah yang mengajari saya naik sepeda dan pada akhirnya saya bisa nyetir mobil sendiri. So, my dad is my hero. 
Ayah lah yang menemani saya bolak-balik tes ini itu waktu mau kuliah, tes UNDIP, UNPAD, SNMPTN, dll. Sampe ke Jakarta untuk tes pun dijabanin sama ayah. 

Ayah termasuk galak, saya sering kok dibentak kalau menurut dia saya nakal, dan saya dulu sering merasa tidak disayang kalau dibentak. 

Tapi ada satu momen dimana saya yakin ayah sayang saya.
Waktu kelas 4 SD, saya sakit di opname. Sebelum masuk RS itu, saya sudah demam sekitar 7 hari, dan saya ingat kalau sebelum saya dibawa ke RS, ayah menangis sambil memeluk saya yang setengah tidur di kasur kepayahan karena demam tinggi. 

Ayah bukan sosok yang banyak bicara, dia termasuk orang yang pendiam, saya ga pernah liat ibu dan ayah berantem teriak-teriak kaya sinetron, ayah lebih banyak diam dan minta maaf sambil menenangkan ibu (yang malah biasanya heboh kalau marah). Dan ayah ga pernah memukul ibu, yah suami yang baik sih.

Berangkat sekolah dari TK-kuliah dianter ayah, jadi waktu kuliah pun saat saya sering pulang malem untuk acara LSS atau himpunan, ayah masih sering jemput. Even saat saya punya pacar, ayah masih sering nanya "kak mau dijemput ga? nanti siapa yang anter?" "jangan percaya gitu aja sama janji laki-laki, kamu harus bisa jaga diri"

Waktu saya pergi ke Palembang untuk kerja praktek, ayah tiap hari menelpon sekedar "kak udah makan? sama apa lauknya? hati-hati di rig, jangan panas-panasan"
"kak pulangnya hari apa jadinya? nanti mau dijemput di bandara?"

Dan banyak lagi kenangan yang sebenarnya bisa membuat saya ingin menangis. 

Ayah sekarang sudah sakit, sejak 2012, tepatnya ketika saya sedang mengerjakan TA. Waktu ayah di RS untuk pertama kalinya, yang ada di pikiran saya adalah ayah ga akan liat saya wisuda, ga akan liat saya memakain toga, padahal ayah lah yang mengantarkan saya sampai sejauh itu. Ayah lah yang membuat saya ingin jadi Sarjana Teknik, sama seperti dia. 

Melihat selang oksigen (dan selang-selang lainnya yang dipasang di tubuh ayah waktu itu, saya hanya bisa menangis sejadi-jadinya, apa jadinya saya dan ibu tanpa ayah? Ayah bukan hanya tulang punggung keluarga, tapi juga segalanya buat kami. Segala macam hal di rumah juga ayah yang mengerjakan, mulai dari kalau ada atap yang sedikit bocor, pipa air bocor, kalau mati lampu juga cuma ayah yang tau gimana nyetel biar nyala lagi. Ayah juga yang tiap pagi masakin saya nasi goreng dan telor dadar khas nya itu, lalu? siapa lagi yang akan melakukan itu untuk saya?

Ketika ternyata ayah bisa pulang dari RS walaupun dengan harus minum obat seumur hidupnya, saya lega. Walaupun ayah tidak bisa kerja lagi, tapi setidaknya saya masih punya ayah, dan itu sudah cukup buat saya.

Dari dulu saya inginnya punya pacar anak teknik, dan nanti nikahnya juga sama engineer, itu juga karena ayah. Ayahku engineer masa suamiku bukan? Pikiran yang aneh ya, tapi ya ga papa lah, udah dapet juga kaan :)

Saya ga tau sampai kapan ayah bisa bertahan, tapi ayah selalu ada di doa saya setelah solat, saya berserah diri pada Allah karena saya percaya, yang terbaik hanya Allah yang tau. 

Sekarang memang tidak setiap hari saya bertemu ayah, tapi justru ketika bertemu rasanya kangen sekali. Setiap pulang ritual saya adalah setidaknya sempat nyuapin ayah roti kesukaannya dan membantunya jalan, atau sekedar menggodanya agar dia tertawa.

Oh iya, satu alasan penyemangat saya untuk S2 juga ayah. Saya ingin membawa fotonya untuk foto di stadiun Emirates, London, markasnya Arsenal, klub sepak bola kesukaan ayah. Semoga taun depan sudah bisa Ayah liat ya yah, amin :))

Ah, air mata rasanya gampang sekali keluar kalau bicara tentang ayah. 


Dad, Mom, and Me


No comments:

Post a Comment